SELAMAT DATANG Kepada Seluruh Peserta yang sudah melakukan pendaftaran dan pembayaran Acara Pembekalan Kenotariatan, 5 Maret 2016 di Premier Basko Hotel, Padang

Pengetahuan Hukum

Pemanggilan Notaris : Kalau Bisa Dipersulit- Mengapa Dipermudah?

http://medianotaris.com/pemanggilan_notaris_kalau_bisa_dipersulit_mengapa_dipermudah_berita424.html
Islamsyah Arifin, SH
Ketua Pengurus Daerah,Serang Ikatan Notaris Indonesia



Polemik masalah pemangilan notaris oleh penegak hukum muncul lagi setelah ada permohonan ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris Perubahan Nomor 2 tahun 2014. Pasal ini dimintakan untuk diuji dengan alasan bertentangan dengan UUD 45 karena menyalahi prinsip persamaan di depan hukum bagi notaris. Menurut pasal ini penegak hukum yang akan memeriksa notaris harus meminta ijin kepada Majelis Kehormatan Notaris untuk memanggil atau mengambil dokumen fotokopi minuta notaris.
Dengan demikian, menurut pemohon uji tersebut, notaris sulit dipanggil atau diperiksa, dan tidak sama kedudukannya dengan warganegara lain.
Sementara itu pasal ini sebetulnya sampai sekarang belum bisa dilaksanakan karena peraturan pelaksanaannya belum ada. Sehingga peraturan ini seperti mengambang, keberadaannya diakui, tapi tidak tampak dan tidak terasa kehadirannya.


Dengan adanya polemik akibat hal ini Ketua Ikatan Notaris Pengurus Daerah Serang Raya, Banten M. Islamsyah Arifin, SH berharap pemerintah segera menerbitkan peraturan pelaksanaan pasal 66 ayat (1) UUJN Perubahan Nomor 2 tahun 2014 itu. Sebab ini tanpa peraturan pelaksanaan, pasal mengenai Majelis Kehormatan Notaris tidak bisa dilaksanakan, yang berakibat bahwa notaris rentan menjadi “sasaran tembak”oknum penegak hukum di lapangan. Tentu para notaris tidak ingin terjadi kekosongan hukum seperti yang berpotensi kurang baik bagi proses penegakan hukum.
Sedangkan untuk sementara ini, kata Islamsyah, sebaiknya Pengurus Pusat INI membentuk tim advokasi untuk melakukan pendampingan terhadap notaris yang terkena masalah. Tim advokasi itu hendaknya terutama dari Pengurus Daerah INI di bawah naungan Pengurus Pusat INI. Sebab kalau hanya mengandalkan tim advokasi dari PP tidak akan bisa memadai, sementara kasus-kasus terjadi di mana-mana dan prosesnya tidak bisa selesai dalam satu waktu saja, yaitu memakan waktu lama. Apalagi jika ada pihak yang tidak melaksanakan putusan hakim atau putusan pejabat resmi yang sudah diputuskan atau ditetapkan.
Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2013 yang menganulir frasa “…dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah Notaris…” menimbulkan implikasi luas terhadap dunia notaris karena penegak hukum, polisi rata-rata melakukan tindakan dengan “bebas”nya melakukan pemanggilan terhadap notaris. Akibatnya justru tidak sedikit notaris yang tidak bermasalah malah kena obok-obok (dirugikan) proses yang disebut sebagai “proses penegakan hukum” oleh oknum aparat penegak hukum itu.


Untuk itulah pasal semacam “…persetujuan majelis Kehormatan Notaris” ini memang sangat dibutuhkan agar pihak penegak hukum memahami profesi notaris. Sehingga akhirnya tidak dibuat semena-mena oleh oknum.
Dalam hal ini Islamsyah yang berpengalaman sebagai Majelis Pengawas Wilayah Notaris di Banten itu menyebutkan beberapa kasus di mana seorang notaris yang akhirnya dalam pemeriksaan menjadi tersangka ketika diperiksa polisi, walau alasannya sangat lemah. Dengan sedikit kesal Islamsyah mengkhawatirkan munculnya pandangan buruk di antara oknum penegak hukum, “kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah”. Ia menyatakan bisa saja seorang notaris yang tidak bersalah akhirnya “dimanfaatkan” oknum penegak hukum dengan mengondisikan si notaris ini ke dalam kesulitan hukum.
Akhirnya, Islamsyah menegaskan agar pasal ini tetap harus ada. Notaris, katanya, harus dilindungi dari oknum yang tidak paham atau bersikap kurang baik dan memanfaatkan kelemahan notaris untuk kepentingan sesaat. Bisa juga lebih baik perlu dibuat aturan UU soal ini secara khusus agar jelas dan kuat posisinya, dan tidak lagi diperdebatkan atau dipermasalahkan. Sehingga akhirnya notaris yang tidak bersalah, sekali lagi, notaris yang tidak bersalah bisa terlindungi dari oknum penegak hukum yang mengambil kesempatan atau aji mumpung dalam hal ini
Namun sebaliknya Islamsyah setuju bila ada oknum notaris nakal tidak perlu dilindungi. Dari sinilah sebetulnya pejabat Negara bisa cermat dan jujur dalam memutuskan kebijakan dengan pijakan ini : notaris yang jujur dilindungi, namun notaris yang nakal dihukum. Jangan sampai terbalik. Untuk itulah dari sisi notaris, lembaga Majelis Kehormatan ini merupakan filter untuk menjaga tujuan itu., yaitu jangan menzalimi notaris yang baik-baik.
Sehingga nanti jangan sampai terjadi lagi notaris baik-baik dipanggil-panggil, dan kasusnya dikembang-kembangkan akhirnya menjadi terlapor, bahkan menjadi tersangka.
Dari sisi organisasi, diharapkan Pengurus Pusat memberikan pengayoman dengan baik. Sedangkan dari sisi anggota, hendaknya jangan minta ditangani secara prodeo karena bagaimanapun juga petugas yang melakukan advokasi harus dihargai dan tidak dirugikan karena kehilangan waktu dan kesempatan bekerja. Setidaknya ada uang ganti transportasi dan lainnya yang wajar.
Di lapangan, dulu bisa saja terjadi “kelemahan” bila seorang Ketua Majelis Pengawas Daerah-nya bukan notaris maka seringkali notaris yang dilaporkan langsung dibiarkan saja dipanggil penyidik. Sehingga hal ini merugikan notaris setempat. Hal ini juga mungkin bisa terjadi sampai sekarang dengan dianulirnya frasa “…dengan persetujuan notaris” di pasal 66 ayat (1) UUJN Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Untuk itu hendaknya nanti Ketua Majelis Kehormatan Daerah adalah seorang notaris supaya bisa menelaah dan menyaring dengan baik laporan-laporan masyarakat untuk “ditingkatkan” ke penegak hukum.




"Yurisprudensi MA, no.702K/Sip/1973). Akta notaris tidak menjamin pihak-pihak/penghadap berkata benar, tetapi yang dijamin oleh akta notaris pihak-pihak benar berkata seperti yang termuat di dalam akta."




Gunakan Hak Ingkar

Oleh Syafran Syofyan, S.H.,Sp.N. M.Hum,
 Notaris  & PPAT, Dosen Lemhanas, Dosen MKn, Ketua Perlindungan Profesi  PP -INI, berpendapat (dikutip dari status facebook tgl 29 Maret 2014): 

"Pasca Putusan MK No.49/PUU-X/2012 mencabut frasa tentang  kewajiban untuk mendapatkan persetujuan dari MPD, dan sebagai penggantinya dimasukkan dlm Ps 66 UU No.2 th 2014, untuk kepentingan proses peradilan, penyidik,penuntut umum atau hakim dengan persetujuan MKN (Majelis Kehormatan Notaris), antara lain: dapat mengambil fotocopy minuta, dan memanggil notaris, yang mana sampai sekarang.  Peraturan Menterinya belum terbentuk, maka dalam masa transisi ini saya menghimbau, agar tidak terjadi permasalahan yg lebih besar, apabila dipanggil penyidik, penuntut umum, gunakanlah KEWAJIBAN INGKAR, kewajiban tdk memberikan penjelasan dalam kaitan dengan substansi akta di hadapan penyidik; dan HAK INGKAR, kalau dalam proses di sidang pengadilan, dengan alasan demi UU..(Ps 4 ay 2, Ps 16 ay 1f, Ps 54 UUJN, Ps 43, 170 KUHAP, Ps 1909 ay 3 KUHPer, Ps 146 ay 1 angka 3 HIR, Ps 89 UU No.586 jo UU 51 th 2009). 
Apabila Notaris melanggar Hak/Kewajiban Ingkar, para-pihak keberatan, maka Notaris tersebut dapat digugat:
1. Pasal 322 ay 1 KUHP, ancaman 9 bulan,
2. Pasal 1365 KUHPer, ganti rugi,
3. Pasal 91A,91B UUJN...Sanksi administrasi...teguran sampai pemberhentian,
4. Sanksi Kode Etik.


Bagaimana kalau dipanggil sebagai saksi, apakah harus hadir? WAJIB HADIR.
Ps 244 KUHP...barang siapa dipanggil sebagai saksi, Ahli, dengan  sengaja tidak memenuhi, diancam pidana 9 bulan penjara.
Kalau di dalam berita acara  pemeriksaan ( BAP), sudah menyangkut substansi akta, maka kita wajib tidak menjawab/memberikan penjelasan, demi UU.
Bagaimana  kalau penyidik memaksa? Dengan  alasan menghalangi proses penyidikan/peradilan? Pasal 117 ayat 1 KUHAP, ket tersangka &/saksi kpd penyidik diberikan tanpa tekanan dari/dlm bentuk apapun.
Semoga bermanfaat."

Akibat Jika Akta Perubahan Anggaran Dasar PT Belum Diumumkan
Bagaimana status utang-piutang dengan PT yang akta perubahannya belum disahkan oleh Menkumham dalam perikatan hukum? Kemudian dapatkah dilakukan langkah hukum jika PT tersebut wanprestasi.
Dalam hal ini kami berasumsi bahwa akta perubahan yang Anda maksud adalah akta perubahan anggaran dasar Perseroan Terbatas (“PT”). Pada dasarnya tidak ada pengaturan yang mengatur secara eksplisit bagaimana status perikatan yang dibuat sebelum akta perubahan anggaran dasar mendapat persetujuan Menteri atau telah diberitahukan kepada Menteri.
Perlu Anda ketahui, dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”), mengenai perubahan anggaran dasar, dikatakan bahwa ada perubahan anggaran dasar yang harus mendapatkan persetujuan Menteri (Pasal 21 ayat (1) jo. Pasal 21 ayat (2) UUPT), dan ada yang hanya perlu diberitahukan kepada Menteri (Pasal 21 ayat (3) UUPT). Dari rumusan Pasal 21 UUPT, dapat kita lihat bahwa UUPT tidak menyebutnya dengan “disahkan”, tetapi “mendapat persetujuan” atau “diberitahukan”.
Untuk perubahan anggaran dasar yang harus mendapat persetujuan Menteri, perubahan anggaran dasar tersebut berlaku sejak tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai persetujuan anggaran dasar (Pasal 23 ayat (1) UUPT). Sedangkan dalam hal perubahan anggaran dasar hanya perlu diberitahukan kepada Menteri, perubahan anggaran dasar tersebut berlaku sejak tanggal diterbitkannya surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar oleh Menteri (Pasal 23 ayat (2) UUPT).
Dalam Pasal 30 ayat (1) UUPT dikatakan bahwa Menteri mengumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia (“TBN”) mengenai akta pendirian perseroan serta akta perubahan anggaran dasar (baik perubahan anggaran dasar yang harus mendapat persetujuan Menteri maupun yang hanya perlu diberitahukan kepada Menteri).
Pasal 30 UUPT:
(1) Menteri mengumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia:
a.    akta pendirian Perseroan beserta Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4);
b.    akta perubahan anggaran dasar Perseroan beserta Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1);
c.    akta perubahan anggaran dasar yang telah diterima pemberitahuannya oleh Menteri.
M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Hukum Perseroan Terbatas (hal. 230-231) mengatakan bahwa sehubungan dengan pengumuman ini, terkandung dua permasalahan hukum yang perlu mendapat perhatian. Pertama; pengumuman dari segi hukum, merupakan asas “publisitas” (publiciteit, publicity) kepada masyarakat atau pihak ketiga. Keabsahannya kepada pihak ketiga sebagai perseroan boleh dikatakan digantungkan pada pengumumannya dalam TBN. Oleh karena itu, meskipun perseroan telah mendapat pengesahan dari Menteri sebagai badan hukum atau perubahan anggaran dasar telah mendapat persetujuan Menteri maupun telah disampaikan pemberitahuannya, maka selama hal itu belum diumumkan dalam TBN, belum sah dan belum mengikat kepada pihak ketiga.
Kedua; kelalaian (negligence) Menteri mengumumkan pengesahan perseroan sebagai badan hukum, atau kelalaian mengumumkan persetujuan atau pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari tenggang waktu yang ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Anda tidak menyebutkan apa perubahan yang dilakukan atas anggaran dasar perseroan. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa perubahan anggaran dasar mengikat pihak ketiga setelah ada pengumuman dalam TBN, maka perjanjian utang piutang antara perseroan dengan pihak ketiga masih terikat dengan anggaran dasar perseroan sebelum perubahan.
Tentu saja dapat dilakukan langkah hukum jika PT tersebut wanprestasi. Ini karena perubahan anggaran dasar tidak dapat menghilangkan hak pihak ketiga untuk melakukan gugatan atas dasar wanprestasi yang dilakukan oleh PT.
Selain itu, selama pihak ketiga merasa bahwa haknya dilanggar oleh PT berdasarkan perjanjian di antara keduanya, pihak ketiga dapat bertindak sebagai penggugat, menggugat PT atas dasar wanprestasi.
Menurut Retnowulan Sutantio, S.H. dan Iskandar Oeripkartawinata, S.H., di dalam buku berjudul Hukum Acara Perdata: Dalam Teori dan Praktek (hal. 3) mengatakan penggugat adalah seorang yang “merasa” bahwa haknya dilanggar dan menarik orang yang “dirasa” melanggar haknya itu sebagai tergugat dalam suatu perkara ke depan hakim. Di dalam hukum acara perdata, inisiatif, yaitu ada atau tidak adanya suatu perkara, harus diambil oleh seseorang atau beberapa orang yang merasa, bahwa haknya atau hak mereka dilanggar, yaitu oleh penggugat atau para penggugat. Lebih lanjut, Anda dapat membaca artikel yang berjudul Pihak yang Dapat Bertindak Sebagai Penggugat.
Sebagai referensi, Anda dapat juga membaca artikel yang berjudul Kapan Perubahan Direksi Efektif Berlaku?
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
2.    Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.




Bisakah Menuntut Kembali Kelebihan Luas Tanah Dalam Jual Beli Tanah?

A seorang Bapak, menjual tanah seluas 9 hektar are (Ha)  dan tanah tersebut sudah disertifikat oleh pembeli, B,  pada waktu itu A  tidak mengukur tanah yg dijual tsb, setelah A mengukur luas tanah tersebut ternyata lebih dari 9 ha. Pertanyaan,  apakah A bisa menuntut secara hukum ke pihak pembeli tanah , B, , karena B  belum mau memberikan sisa dari 9 are,   malah alasan macam2? 
Oleh : Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn
Berdasarkan pertanyaan di atas,  kondisinya terjadi perbedaan luas tanah yang tertera dalam sertipikat dan akta jual beli dengan kondisi faktual di lapangan terkadang terjadi dalam praktik. Hal ini terutama jika proses pensertifikatan tanah dilakukan secara sistemik (misal melalui PRONA).
Kami berasumsi pensertifikatan tanah ini dilakukan dalam rangka pendaftaran tanah secara sporadik. Menurut Pasal 77 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“Permen Agraria 3/1997”), pengukuran bidang tanah secara sporadik pada dasarnyamerupakan tanggung jawab Kepala Kantor Pertanahan.
Jika sebelum jual beli dilaksanakan, maka A dapat mengajukan permohonan pengukuran ulang pada kantor pertanahan setempat, sehingga diketahui secara pasti dan jelas berapa sebenarnya luasan tanah yang menjadi hak si  A. Berdasarkan pengukuran ulang tersebut, jika memang terjadi kekeliruan, maka Kepala Kantor Pertanahan akan melakukan perbaikan/perubahan pada data fisik di buku tanah maupun di sertipikatnya. Istilah pertanahannya: minta pengembalian batas.
Namun demikian, untuk tanah yang sudah bersertifikat, jika  A tidak mengajukan permohonan untuk pengukuran ulang sebelum dilakukannya transaksi jual beli, maka asumsinya  A telah setuju untuk menjual tanah sesuai dengan luas yang tertera dalam sertipikat.Terhadap kelebihan tanah ini, coba kita  lihat kembali akta jual beli (“AJB”)yang telah  dan pembeli tandatangani, di dalamnya mungkin terdapat pasal-pasal yang harus para pihak patuhi terhitung sejak penandatanganan akta tersebut.
Dalam klausula standar AJB, biasanya terdapat klausula yang menyatakan:
“Pasal 5
Dalam hal terdapat perbedaan luas tanah yang menjadi obyek jual beli dalam akta ini dengan hasil pengukuran oleh instansi Badan Pertanahan Nasional, maka para pihak akan menerima hasil pengukuran instansi Badan Pertanahan Nasional tersebut dengan tidak memperhitungkan kembali harga jual beli dan tidak akan saling mengadakan gugatan.”
Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan jual beli tanah dimaksud.
Demikian, semoga bisa membantu.
Dasar Hukum:
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

    
Prosedur Penyertipikatan Tanah Warisan
Ibu saya telah menempati dan mengelola sebidang tanah selama 30 tahun lamanya. Selama ini tidak ada yang mengganggunya. Sebulan lalu Ibu saya meninggal, agar tanah ini lebih jelas statusnya, apakah saya dapat mengurus akta kepemilikan tanah ini? Dan apakah kuat dasar hukumnya mengingat Ibu saya telah menempati dan mengelola tanah ini selama 30 tahun lamanya? Sebelumnya terima kasih atas jawabnnya.  
Untuk kondisi yang bapak/ibu alami, jawabannya adalah bapak/ibu dan ahli waris lainnya (jika ada) secara bersama-sama, dapat mengurus pensertipikatan atas tanah tersebut dan tindakan itu memiliki dasar hukum yang kuat. Saya akan jelaskan satu persatu.
Jika ada kematian, yang harus dilakukan pertama kali adalah mengurus surat kematian, kemudian, untuk warga negara Indonesia (“WNI”) membuat Surat Keterangan Waris (SKW) di Lurah yang dikuatkan oleh Camat, dan jika WNI keturunan, membuat Akta Waris di Notaris. Berdasar SKW/Akta Waris yang ada, bapak/ibu dan ahli waris lainnya (jika ada) merupakan pihak yang berhak melakukan pensertipikatan hak atas tanah tersebut. Permohonan pensertipikatan harus dilakukan bersama-sama seluruh ahli waris, karena merupakan harta warisan almarhumah ibu.
Sesuai Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut dengan PP 24/1997), penguasaan fisik selama lebih dari 20 tahun secara berturut-turut dapat diajukan permohonan pendaftaran tanahnya. Dengan demikian, karena sudah 30 tahun lamanya, maka atas tanah tersebut dapat diajukan permohonan haknya.
Untuk mendapatkan/memperjelas status tanah bapak/ibumaka dapat diajukan permohonan pendaftaran tanah pada kantor Pertanahan setempat dengan sistem pendaftaran tanah secara sporadik sesuai dengan Pasal 13 ayat (4) PP 24/1997Jadi, dalam kondisi yang bapak alami, bapak secara bersama-sama ataupun memberikan kuasa kepada salah satu ahli waris, dapat mengajukan permohonan pendaftaran tanah secara mandiri/sporadik ke Kantor BPN setempat dengan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Untuk penjelasannya bisa di lihat di Pensertifikatan Tanah Secara Sporadik, termasuk persyaratan pembuktian mengenai adanya hak tersebut.
Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) PP 24/1997, pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan syarat (Pasal 24 ayat (2) PP 24/1997):
a. Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh orang yang dapat dipercaya;
b. Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 26 PP 24/1997 (60 hari) tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan atau pihak lain.
Jika masa pengumuman berjalan mulus, maka Kepala BPN setempat akan mengesahkan berita acara yang memuat data fisik dan data yuridis atas tanah, jika ternyata masih ada kekurangan data fisik ataupun data yuridis, atau masih ada keberatan yang belum terselesaikan, maka pengesahan berita acara dilakukan dengan catatan mengenai apa-apa yang masih kurang. Berita acara menjadi dasar untuk pembukuan hak atas tanah, pengakuan hak atas tanah ataupun pemberian hak atas tanah (Pasal 28 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) PP 24/1997).
Demikian, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:


Notaris Sebagai Penerima Titipan
"Saya titipkan surat-surat tanah saya di notaris suatu saat, ketika saya ingin menjual terjadi masalah. Yaitu, salah satu surat saya hilang di tangan notaris, dan konyolnya dia malah masih bisa tagih kita uang penitipan. Saya harus bagaimana?"

Dalam hal ini, kami kurang mendapat penjelasan apakah Notaris menerima penitipan surat-surat tanah tersebut (akta tanah) sebagai bagian dari hal-hal yang diatur dalam akta yang dibuat oleh Notaris tersebut, atau Notaris menerima penitipan tersebut sepenuhnya hanya dalam kedudukannya sebagai penerima titipan.
Pada dasarnya, akibat dari keduanya adalah sama yaitu adanya perjanjian penitipan antara Notaris dengan pemilik akta tanah tersebut. Hanya saja jika penitipan tersebut merupakan bagian dari ketentuan dalam akta yang dibuat oleh Notaris, maka dalam hal ini perjanjian penitipan terselubung dalam akta yang dibuat Notaris tersebut dan Notaris menjadi pihak dalam akta yang dibuatnya.
Sebagai bagian dari hal-hal yang diatur dalam akta yang dibuat oleh Notaris tersebut misalnya Notaris membuat akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”) tanah dengan ketentuan bahwa sebelum dipenuhi syarat-syarat dalam PPJB dan sebelum dilakukan jual beli, maka akta tanah akan dititipkan pada Notaris. Selain itu, biasanya diatur pula mengenai apa yang harus dilakukan atas akta tanah yang dititipkan tersebut dalam hal terjadi sesuatu sebelum jual beli dilangsungkan.
Jika yang terjadi adalah hal seperti di atas, maka sebenarnya Notaris tidak dapat melakukan hal tersebut. Ini karena sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (“UU Jabatan Notaris”), Notaris tidak boleh menjadi pihak dalam akta yang dibuatnya:
Notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.”
Dengan Notaris tersebut menjadi penerima titipan berdasarkan akta PPJB tersebut, maka Notaris dalam hal ini menjadi salah satu pihak dalam akta yang dibuatnya. Berdasarkan Pasal 52 ayat (1) UU Jabatan Notaris, hal tersebut tidak diperbolehkan.
Sedangkan, jika penitipan tersebut terjadi sepenuhnya hanya pemilik akta melakukan penitipan saja, maka dalam hal ini Notaris bertindak bukan dalam jabatannya. Ini karena berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Jabatan Notaris, notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UU Jabatan Notaris (mengenai kewenangan dapat dilihat dalam Pasal 15 UU Jabatan Notaris). Jadi, dalam hal ini Notaris tersebut hanya bertindak sebagai penerima titipan dan bukan sebagai Notaris.
Sebagaimana telah dikatakan di atas, akibat dari keduanya adalah sama yaitu adanya perjanjian penitipan sehingga berlaku ketentuan mengenai penitipan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”). Berdasarkan Pasal 1706 KUHPer, penerima titipan wajib memelihara barang titipan itu dengan sebaik-baiknya seperti memelihara barang-barang kepunyaan sendiri. Ketentuan ini harus dilakukan dengan keras jika (Pasal 1707 KUHPer):
1.     jika penerima titipan itu yang mula-mula menawarkan diri untuk menyimpan barang itu;
2.     jika ia meminta dijanjikan suatu upah untuk penitipan itu;
3.     jika penitipan itu terjadi terutama untuk kepentingan penerima titipan;
4.     jika diperjanjikan dengan tegas, bahwa penerima titipan bertanggung jawab atau semua kelalaian dalam menyimpan barang titipan itu.
Selain itu berdasarkan Pasal 1708 KUHPer, dikatakan bahwa penerima titipan sekali-kali tidak harus bertanggung jawab atas kejadian-kejadian yang tidak terelakkan datangnya, kecuali kalau ia telah lalai mengembalikan barang titipan itu. Penerima titipan juga tidak bertanggung jawab atas hilang atau rusaknya barang itu, jika barang itu akan musnah juga sekiranya berada di tangan pemberi titipan.
Ini berarti apabila Anda dapat membuktikan bahwa memang hilangnya akta tersebut adalah karena salahnya Notaris sebagai penerima titipan dan bukan karena kejadian yang tidak terelakkan, maka Notaris tersebut bertanggung jawab.
Berdasarkan uraian di atas, maka Notaris dapat digugat karena tidak menjalankan kewajibannya sebagai penerima titipan yaitu menjaga barang yang dititipkan. Penitipan juga adalah perjanjian, oleh karena itu, atas tidak dilaksanakannya kewajiban penerima titipan menjaga barang yang dititipkan, pemberi titipan dapat menggugat atas dasar wanprestasi.
Mengenai penagihan uang penitipan, Anda dapat menggunakan exceptio non adimpleti contractus. Menurut J. Satrio dalam artikel yang berjudulBeberapa Segi Hukum Tentang Somasi (Bagian IV), mengatakan bahwaexceptio non adimpleti contractus adalah suatu tangkisan, yang mengatakan anda sendiri belum berprestasi dan karenanya anda tidak patut untuk menuntut saya berprestasi. Eksepsi ini dikemukakan untuk melawan tuntutan kreditur akan pemenuhan perikatan. Sudah bisa diduga, bahwa tangkisan itu hanya berlaku untuk perjanjian timbal balik saja.
Jadi, dalam hal ini Anda dapat menolak untuk membayar uang titipan karena pihak yang lain juga tidak melakukan prestasinya menjaga barang titipan tersebut.

Penjelasan tambahan:
Notaris dapat menerima titipan terkait surat wasiat tertulis sendiri yang seluruhnya ditulis dan ditandatangani oleh si yang mewariskan (pewaris) sebagaimana diatur dalam Pasal 932 KUHPer. Hal ini pernah kami ulas dalam artikel berjudul Dapatkah Surat Wasiat Dibuat dengan Akta di Bawah Tangan?


Dasar Hukum:


Bolehkah Pengurus Yayasan Menjadi Pemegang Saham PT yang Didirikan Yayasan?

Oleh Ilman Hadi, S.H..


Memang benar bahwa dalam Pasal 7 UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan(selanjutnya disebut dengan UU Yayasan), membolehkan Yayasan membentuk badan usaha untuk tujuan mencari keuntungan. Pasal 7 UU Yayasan selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1)      Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan.
(2)      Yayasan dapat melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif dengan ketentuan seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25% (dua puluh lima persen) dari seluruh nilai kekayaan Yayasan.
(3)      Anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan dilarang merangkap sebagai Anggota Direksi atau Pengurus dan Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).
Oleh karena pertanyaan tentang soal pemegang saham, maka badan usaha yang didirikan Yayasan tersebut adalah Perseoran Terbatas, (PT) yang diatur dengan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas(“UUPT”), karena hanya dalam PT dikenal adanya Pemegang Saham. Di dalam ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU Yayasan, hanya disebutkan bahwa “Anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan dilarang merangkap sebagai Anggota Direksi atau Pengurus dan Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dari badan usaha”, dan tidak disebutkan dilarang untuk menjadi Pemegang Saham. Menurut hemat kami, larangan anggota pembina, pengurus, dan pengawas yayasan merangkap jabatan sebagai anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris PT yang didirikan yayasan tersebut adalah untuk menghindari benturan kepentingan. Karena di satu sisi sifat dari yayasan adalah berfungsi sosial, sedangkan sifat dari PT adalah mencari keuntungan. Baik pembina, pengurus, dan pengawas Yayasan melakukan fungsi pengurusan dan pengawasan Yayasan., fungsi tersebut sama halnya dengan fungsi Direksi dan Dewan Komisaris dalam PT (lihatPasal 1 angka 5 dan angka 6 UUPT). Pada sisi lain, Pemegang Saham PT tidak melakukan fungsi pengurusan maupun pengawasan dalam PT. Oleh karena itu, tidak ada larangan bagi anggota pembina, pengurus, atau pengawas Yayasan untuk menjadi pemegang saham PT yang didirikan oleh Yayasan.
Kemudian, mengenai larangan untuk menjadi karyawan bagi Pengurus, Pembina, dan Pengawas Yayasan dalam PT yang didirikan oleh Yayasan, mengutip artikel Karyawan Diangkat Jadi Direksi¸ intinya Direksi PT bukanlah termasuk karyawan PT. Karyawan PT adalah pekerja yang bekerja di PT berdasarkan perjanjian kerja sedangkan Direksi bekerja di PT berdasarkan penunjukan Rapat Umum Pemegang Saham, sehingga memiliki perbedaan sifat hubungan hukum. Oleh karena itu, karena karyawan bukanlah Direksi maka menjadi karyawan PT bagi Pembina, Pengurus, atau Pengawas Yayasan yang mendirikan PT adalah tidak dilarang.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:


Prosedur Mendapatkan Salinan Kedua dari Akta Pendirian Perusahaan
Oleh : Irma Devita Purnamasari, S.H.,M.Kn.
Apa yang harus dilakukan jika akta pendirian perusahaan hilang dan tidak menyimpan copy-nya sama sekali? Bagaimana prosedur untuk mendapatkan copy akta tersebut? Karena notaris yang membuat akta sudah pensiun?

Jawabnya, sebagai berikut: 


Akta pendirian perusahaan yang sudah diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia (bentuknya seperti buku kecil) sudah memuat juga kutipan dari akta pendirian perusahaan. Sehingga, akta pendirian yang hilang dimaksud sebenarnya sudah bisa di-cover dengan adanya buku Tambahan Berita Negara RI tersebut.

Namun demikian, jika perusahaan tetap menghendaki salinan akta pendirian, maka untuk memperoleh salinan kedua dari akta pendirian tersebut sebenarnya cukup dengan mengajukan permohonan penerbitan salinan kedua kepada notaris yang membuat akta dimaksud. Namun, karena notaris tersebut sudah pensiun, dan perusahaan tidak mengetahui siapa notaris pemegang protokolnya, maka langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:

1.      Pertama, kita harus tahu dulu tanggal dan nomor serta nama notaris yang membuat akta pendirian yang hilang tersebut. Jika copy akta tidak dimiliki sehingga tanggal dan nomornya tidak ada, tanggal dan nomor akta tersebut bisa dicek pada Surat Keputusan Menteri yang mengesahkan akta pendirian dimaksud, atau melihatnya pada salinan Tambahan Berita Negara (yang berbentuk buku kecil). Di sana tercantum tanggal, nomor akta dan nama notaris serta tanggal Surat Keputusan Menteri yang mengesahkan akta pendirian tersebut.

2.      Setelah mengetahui tanggal dan nomor akta pendirian dimaksud, langkah berikutnya adalah mengetahui siapa notaris pemegang protokol, yang mengambil alih semua arsip dari notaris yang sudah pensiun tersebut. Untuk mengetahui siapa pemegang protokol dari notaris yang sudah pensiun tersebut, bisa ditanyakan kepada Majelis Pengawas Daerah (MPD) Notaris sesuai dengan wilayah kerja notaris yang bersangkutan. Misalnya, notaris yang sudah pensiun tersebut wilayah kerjanya di Jakarta Selatan, maka yang dicari adalah alamat MPD notaris Jakarta Selatan.

Atau jika sulit mencari tahu alamat MPD setempat, bisa menghubungi sekeretariat Ikatan Notaris Indonesia di alamat berikut:

Kompleks Roxy Mas Blok E-1/32
Jl. KH. Hasyim Ashari
Jakarta Pusat (10150)
Tlp. (021) 6386 1919, 6385 1329, 630 1322
Fax. (021) 6386 12 33

3.      Setelah tahu nama notaris pemegang protokolnya dari notaris pembuat akta pendirian PT Anda, maka bisa mengajukan permohonan secara tertulis kepada notaris yang bersangkutan untuk menerbitkan salinan kedua atas akta pendirian tersebut.

Demikian, semoga cukup membantu.

Catatan editor:
1.      Pengumuman akta pendirian PT pada Tambahan Berita Negara Republik Indonesia mengacu pada ketentuan Pasal 30 ayat (1)UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas danPeraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.HH.-02.AH.01.01 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengumuman Perseroan Terbatas Dalam Berita Negara dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.
2.      Sesuai Pasal 62 huruf b UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (“UUJN”), penyerahan protokol notaris dilakukan dalam hal notaris telah berakhir masa jabatannya. Dalam hal notaris telah berakhir masa jabatannya, penyerahan protokol notaris dilakukan oleh notaris kepada notaris lain yang ditunjuk oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Daerah (lihat Pasal 63 ayat [4] UUJN).

Dasar hukum:

3.      Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.HH.-02.AH.01.01 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengumuman Perseroan Terbatas Dalam Berita Negara dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia


Mindset RUKO Sebagai Ganti Harta Pusako Tinggi Kaum

Oleh:
Khairulnas, S.H.,M.Kn.
Pemerhati Masalah Sosial/
Staf Edukatif Fakultas Hukum UMSB
Notaris/PPAT Kab 50 Kota
pernah dipublikasikan oleh SKH Singgalang
Keberadaan dan keberlangsungan hidup komunal atau kaum di dalam masyarakat adat Minangkabau tidak lepas dari adanya keberadaan harta. Harta sebagai wujud pemersatu, pengikat, dan identitas serta penopang perekonomian anggota kaum di Minangkabau.
Pada dasarnya harta di Minangkabau dapat di bagi menjadi harta pusako tinggi (materil) dan harta sako (immateril). Harta pusako merupakan harta yang dapat berupa benda atau tanah yang dapat diberdayagunakan buat kemakmuran dan kesejahteraan daripada anggota kaum. Sedangkan harta sako adalah kekayaan berupa gelar-gelar pusako seperti gelar Datuk Perpatih, Datuk Basa, dan lain-lain.
Dewasa ini, harta yang semakin hilang adalah keberadaan harta pusako tinggi yaitu berupa tanah apakah itu tanah sawah, tanah perladangan termasuk tanah hutan. Hilangnya keberadaan dari harta pusako tinggi berupa tanah tersebut di antaranya disebabkan oleh karena adanya kesepakatan dari seluruh anggota kaum untuk meniadakan harta pusako tingginya, umumnya dilakukan dengan cara dilakukan jual-beli.
Ketika hal ini terus berlanjut, apalagi dengan perkembangan zaman yang menuntut kehidupan semakin individualis, maka suatu saat kita hanya akan mendengar sejarah lagi bahwa di propinsi Sumatera Barat, khususnya ranah Minangkabau, dahulu ada jenis harta yang disebut dengan harta pusako tinggi.
Keberlanjutan dari musnahnya harta pusako tinggi adalah mengikut musnahnya harta sako, seperti gelar datuk, orang tidak akan mau lagi memakai gelar adat dimaksud karena gelar itu tidak punya makna lahir dan ragawi lagi.
Hilangnya harta sako tadi juga akan diikuti dengan musnahnya nilai-nilai serta norma adat Minangkabau, yang katanya tidak lapuak dek ujan, tak lakang dek paneh. Kenapa? Sebab perangkat adat yang akan menegakkan adat itu sudah tidak ada lagi, dan ujung dari semua itu adalah tidak akan pernah diterapkan dengan baik dalam kehidupan ”sumpah sati bukik marapalam” yaitu adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah.
Begitu besar pengaruh harta pusako tinggi bagi masyarakat komunal di Minangkabau, ketika ini terkikis atau musnah, maka jangan kita berharap bahwa nilai-nilai dan norma adat Minangkabau akan tetap abadi sampai kepada cucu-cicitnya nanti.
Ubah Mindset Harta Pusako Tinggi
Hari ini siapapun pasti tidak akan mau menjalankan amanah jika tidak ada sesuatu kebaikan yang akan diperolehnya. Kita harus sadari, ninik mamak kita dahulu memikirkan adanya harta pusako tinggi tentu bukan tanpa sebab yang tidak jelas.
Di antara sekian manfaat adanya harta pusako tinggi itu  adalah sebagai penopang perekonomian bagi anggota kaum yang bersangkutan termasuk juga adanya hak pemimpin yang telah ”berhabis hari” untuk mengurus anak-kemenakannya, ini biasa disebut dengan ”tanah abuan” atau tanah kebesaran penghulu/datuk.
Hilangnya harta pusako tinggi tentunya pukulan hebat bagi kelangsungan hidup bermasyarakat Minangkabau, yang akibatnya sangat fatal adalahnya musnahnya keberadaan dari suatu kaum.
Guna mengantisipasi hal demikian kita perlu mencarikan jalan keluar yang baik supaya harta pusako tinggi sebagai pilar kehidupan bermasyarakat adat Minangkabau tidak musnah, diantaranya dengan jalan mengubah pola pikir keterpakuan kita bahwa yang bisa menjadi harta pusako tinggi itu cuma tanah saja.
Dengan semakin sulitnya mengembalikan ”tanah saja” menjadi harta pusako tinggi kembali, apalagi tanah itu sudah terjadi jual-beli, tentu kaum yang telah terlanjur tidak mempunyai harta pusako tinggi harus memikirkan bagaimana harta pusako tingginya tetap ada dan itu dapat membantu keberlangsungan hidup komunalnya. Sebagai wujud ganti dari tanah kita dapat menjadikan RUKO atau rumah toko sebagai pengganti dari harta pusako tinggi suatu kaum.
Sepakatnya seluruh anggota kaum yang telah tidak mempunyai harta pusako tinggi untuk mewujudkan pembelian sebuah ruko sebagai ganti dari harta pusako tingginya tentu akan tetap dapat mempertahankan nilai-nilai adat Minangkabau, dan yang utama sekali adalah ruko tersebut atau hasil dari ruko tersebut dapat dipergunakan buat kesejahteraan daripada anggota kaum yang bersangkutan.
Tidak hanya dengan pembelian ruko saja, bagi kaum yang masih ada mempunyai harta pusako tinggi berupa tanah, sementara tanahnya boleh dikatakan tidak produktif atau dibiarkan terlantar, maka supaya tanah tersebut bermanfaat bagi kesejahteraan anggota kaum sebaiknya dibuatkan kerjasama dengan developer guna dibangunkan perumahan dengan cara bagi hasil. Dengan demikian maka juga akan ada pemasukan buat anggota kaum tersebut. Wallahualam.
Sumber: notariskhairulnas.blogspot.com 


BATASAN-BATASAN NOTARIS DAPAT DITUNTUT PIDANA∗
Oleh : HAPPY HADIASTUTI, SH., CN.∗

DARI UNSUR JAMPIDUM-KEJAKSAAN AGUNG
DISAMPAIKAN SEMINAR NASIONAL IKANOT UNDIP, TGl.4 MARET 2014
A. Latar Belakang
Berdasarkan sejarah, Notaris adalah seorang Pejabat Umum yang dapat diangkat oleh Negara untuk melakukan tugas-tugas Negara dalam pelayanan hukum kepada masyarakat demi tercapainya kepastian hukum sebagai pejabat pembuat Akta Otentik dalam hal keperdataan. Pengertian Notaris dapat dilihat dalam peraturan perundang-undangan tersendiri, yakni dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, yang menyatakan bahwa:
"Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang- undang lainnya."
Selanjutnya dalam pasal 1868 KUH Perdata :
“Suatu Akta Otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yg ditentukan Undang-Undang oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”.
Pasal 1870 KUH Perdata :
“Bagi para pihak yang berkepentingan beserta para ahli warisnya ataupun bagi orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu Akta Otentik memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya”.
Sebagaimana diketahui bahwa Akta Otentik adalah akta yang dibuat oleh Pejabat Umum yang diberikan wewenang untuk membuatnya menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang yang berisikan perjanjian atau kemauan dari para pihak.
Otentik artinya karena dibuat di hadapan seorang Pejabat Umum yang ditunjuk untuk itu yang dalam hal ini biasanya adalah seorang Notaris, sehingga akta yang dibuat di hadapan Notaris tersebut dapat dipergunakan sebagai alat bukti di depan Pengadilan, sedangkan istilah surat di bawah tangan adalah istilah yang dipergunakan untuk pembuatan suatu perjanjian antara para pihak tanpa dihadiri atau bukan dihadapan seorang Notaris sebagaimana yang disebutkan pada Akta Otentik di atas.
Perjanjian yang dibuat di bawah tangan adalah perjanjian yang dibuat sendiri oleh para pihak yang berjanji, tanpa suatu standar baku tertentu dan hanya disesuaikan dengan kebutuhan para pihak tersebut, sedangkan kekuatan pembuktiannya hanya antara para pihak tersebut apabila para pihak tersebut tidak menyangkal dan mengakui adanya perjanjian tersebut (mengakui tanda tangannya di dalam perjanjian yang dibuat). Artinya salah satu pihak dapat menyangkal akan kebenaran tanda tangannya yang ada dalam perjanjian tersebut. Lain halnya dengan Akta Otentik, Akta Otentik atau biasa disebut juga Akta Notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, artinya dapat dijadikan bukti di pengadilan.
Perjanjian-perjanjian tertulis yang dibuat dihadapan Notaris disebut akta (untuk selanjutnya disebut ditulis akta). Tujuannya adalah agar supaya akta tersebut dapat digunakan sebagai bukti yang kuat jika suatu saat terjadi perselisihan antara para pihak atau ada gugatan dari pihak lain.
Berdasarkan uraian diatas, jelas begitu pentingnya fungsi dari akta Notaris tersebut, oleh karena itu untuk menghindari tidak sahnya dari suatu akta, maka lembaga Notaris diatur di dalam Peraturan Jabatan Notaris untuk selanjutnya ditulis (PJN), yang sekarang telah diganti oleh Undang-undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris dan selanjutnya disebut UUJN.
Hanya saja di dalam Undang-Undang Notaris baik undang-undang yang terdahulu maupun yang Undang-undang yang sekarang ada, tidak diatur dengan jelas tentang bagaimana seorang Notaris itu selaku Pejabat Umum mempertanggungjawabkan secara hukum apabila dia melakukan kesalahan dalam membuat akta yang dibuatnya, hanya dikatakan bahwa seorang Notaris tidak boleh menolak untuk membuat suatu akta yang dimohon dan seorang Notaris tidak boleh membuat akta yang bertentangan dengan hukum.
Notaris mempunyai pertanggungjawaban secara administrasi, perdata, maupun pidana. Ada kemungkinan bahwa pertanggungjawaban di satu bidang hukum tidak menyangkut bidang hukum yang lain. Sebaliknya, tindakan yang menimbulkan tuntutan berdasarkan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata) dapat menimbulkan pertanggungjawaban di bidang hukum pidana. Batasan-batasan terhadap tindakan Notaris yang mengandung pertanggungjawaban pidana belum jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, sehingga diperlukan suatu konsep atau batasan sejauhmana tindakan Notaris dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, namun demikian yang terpenting adalah tetap dibutuhkan aspek kehati-hatian, kecermatan dan kejujuran yang merupakan hal mutlak dalam melaksanakan jabatan Notaris.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana batasan-batasan pertanggungjawaban pidana seorang Notaris dalam melakukan pekerjaan/jabatannya?
2. Bagaimana dengan kewajiban melekatkan sidik jari pada minuta akta, sebagaimana UU No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris?
C. Pertanggungjawaban Pidana Notaris
Tindak pidana atau disebut juga peristiwa pidana merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda “Strafbaar feit” atau “delict”(Moeliatno, 2000). Menurut KUH Pidana yang berlaku di Indonesia, perkara pidana itu termasuk ke dalam “misdrijf’ (kejahatan) dan “overtreding” (pelanggaran). Perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat merupakan kelakuan yang menyimpang (abnormal). Tingkah laku yang menyimpang itu sangat erat hubungannya dengan kejiwaan individu, dimana kehidupannya hidup dalam suatu kehidupan kemasyarakatan.
Salah satu asas dalam hukum pidana adalah Asas Kesalahan merupakan suatu asas yang fundamental, sebab asas itu telah begitu meresap dan menggema dalam hampir semua ajaran–ajaran penting dalam hukum pidana. Akan tetapi asas “Tiada pidana tanpa kesalahan” tidak boleh dibalik menjadi “Tiada kesalahan tanpa pidana”. Dengan demikian hubungan dari kesalahan dan pemidanaan akan jelas, yaitu bahwa kesalahan itu merupakan dasar dari pidana. Dilihat dari bentuknya, kesalahan itu dapat pula dibagi dalam dua kelompok besar yaitu kesengajaan dan kealpaan.
Sebagai pejabat umum Notaris dituntut untuk bertanggungjawab terhadap akta yang telah dibuatnya. Apabila akta yang dibuat ternyata di belakang hari menimbulkan sengketa, maka hal ini perlu dipertanyakan, apakah akta ini merupakan kesalahan Notaris atau kesalahan para pihak yang tidak mau jujur dalam memberikan keterangannya di hadapan Notaris atau adanya kesepakatan yang telah dibuat antara Notaris dengan salah satu atau mungkin kedua belah pihak yang menghadap. Jika akta yang diterbitkan Notaris mengandung cacat hukum yang terjadi karena kesalahan Notaris, baik karena kelalaiannya maupun karena kesengajaan Notaris itu sendiri, maka Notaris memberikan pertanggungjawaban.
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat Akta Otentik sejauh pembuatan Akta Otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Akta Otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Notaris membuat akta yang dimaksud berdasarkan alat bukti, keterangan dan pernyataan para penghadap dan Notaris mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa apa yang termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga jelas isi Akta Notaris tersebut serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta.
Secara sederhana, Notaris dapat dibedakan antara Notaris itu sendiri yang menjalankan kewenangan berdasarkan jabatannya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang dan Notaris dalam pengertian orang perorangan yang melakukan suatu perbuatan. Sepanjang Notaris bekerja berdasarkan kewenangan yang diatur Undang-Undang maka pada dasarnya ia dilindungi oleh undang-undang. Akan tetapi jika yang melakukan perbuatan tersebut dalam pengertian orang perorangan, maka pertanggungjawabannya sangat bergantung pada kesengajaan-nya (opzet).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN), Notaris dapat dipertanggungjawabkan baik secara administratif, perdata maupun pidana. Dalam UUJN tersebut dengan jelas ada pasal-pasal yang mengatur tentang batasan-batasan pelanggaran administratif dan tindakan adminstratif yang dapat dijatuhkan, baik berupa peringatan tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, maupun pemberhentian dengan tidak hormat.
Dalam hal tanggungjawab perdata, jika dilakukan perubahan terhadap isi akta, baik dengan cara diganti, ditambah, dicoret; disisipkan, dihapus, dan/atau ditulis tindih, sedangkan perubahan tersebut tanpa diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris sehingga mengakibatkan kerugian pada pihak, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut penggantian biaya, ganti kerugian dan bunga.
Dalam kenyataannya di lapangan ada ditemukan akta Notaris yang dipermasalahkan oleh para penghadap atau pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat diterbitkanya akta Notaris tersebut. Apakah ada unsur kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa), sehingga Notaris diperiksa oleh penyidik Kepolisian. Dimungkinkan juga Notaris tersebut turut serta atau membantu melakukan tindak pidana dengan cara membuat keterangan palsu dalam akta yang dibuat di hadapannya seperti dalam kasus yang melibatkan seorang Notaris Kota Palopo berinisial Z yang ditetapkan sebagai tersangka karena terindikasi kuat telah melakukan pemalsuan dokumen akta tanah. Dalam kasus ini berdasarkan uji keaslian cap jempol yang dilakukan oleh ahli Forensic Identifikasi Polda Sulselbar, yang menyatatakan cap ibu jari yang tertera pada akta jual beli tersebut bukan milik Hj. Kallo sang pemilik tanah.
Dalam ajaran para ahli hukum atau Doktrin pun, unsur kesengajaan yang ada terbagi dalam Kesengajaan dengan Maksud (Opzet Als Oogmerk), Kesengajaan dengan Sadar Kepastian (Opzet met Zekerheidsbewutzjin) dan Kesengajaan dengan Sadar Kemungkinan (Dolus Eventualis atau Voorwaardelijk Opzet). Corak Kesengajaan dengan Sadar Kemungkinan (Dolus Eventualis atau Opzet bij Mogelijheids Bewustzijn) perlu diperhatikan oleh Notaris dalam melakukan tugas pekerjaan/jabatannya. Notaris sebelum membuat akta jual beli atas permintaan pihak Bank, yang bukan dari permintaan pihak penjual maupun pembeli, seharusnya Notaris dapat menduga atau mengira jika akta jual beli tersebut yang dibuatnya ternyata tidak sesuai dengan keinginan baik pihak penjual maupun pembeli atau tanpa sepengetahuan para pihak akan mengakibatkan isi akta yang dibuatnya tersebut memuat keterangan palsu. Kemudian Notaris juga dapat menduga–duga jika akta tersebut tidak ditandatangani atau dicap jempol di hadapan saya (Notaris/PPAT) dapat berakibat terjadi pemalsuan tanda tangan karena dapat ditandatangani atau dibubuhi cap jempol orang lain.
Dalam perkara pidana, seorang Notaris dapat dihadapkan sebagai terdakwa, saksi dan maupun ahli. Ada beberapa kemungkinan yang dapat menjerat seorang Notaris melakukan tindak pidana dan diminta pertanggungjawaban pidana sebagai tersangka/terdakwa. Kemungkinan-kemungkinan tersebut sebagai berikut :
a. Tanggal dalam akta tidak sesuai dengan kehadiran para pihak;
b. Para pihak tidak hadir tetapi ditulis hadir;
c. Para pihak tidak ada membubuhi tandatangan tetapi ditulis atau ada tandatangannya;
d. Akta sebenarnya tidak dibacakan akan tetapi diterangkan telah dibacakan;
e. Luas tanah berbeda yang diterangkan oleh para pihak;
f. Notaris ikut campur tangan terhadap syarat-syarat perjanjian;
g. Dalam akta disebutkan bahwa pihak-pihak telah membayar lunas apa yang diperjanjikan padahal sebenarnya belum lunas atau bahkan belum ada pembayaran secara riil;
h. Pencantuman pembacaan akta yang harus dilakukan oleh Notaris sendiri padahal sebenarnya tidak;
i. Pencantuman mengenal orang yang menghadap padahal sebenarnya tidak mengenalnya.
Kecakapan dan kewenangan Penghadap bertindak pun, harus dimuat, diuraikan dan disebutkan dalam akta. Pencantuman, “Penghadap saya, Notaris kenal”, yang disebut dalam akta ini merupakan keterangan Notaris dan bukan keterangan Penghadap. UUJN tidak merumuskan apa yang dimaksud dengan, “Kenal atau Mengenal Penghadap”, sehingga hal ini menimbulkan suatu interpretasi yang subyektif dari masing-masing Notaris dengan kata, “Kenal atau Mengenal”, tersebut. UUJN tidak merumuskan secara eksplisit arti kata Kenal atau Mengenal Penghadap itu, tapi UUJN hanya merumuskan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang menghadap kepada Notaris.
Pencantuman saya Notaris kenal haruslah diartikan bahwa Notaris menjamin pemenuhan syarat-syarat sebagai penghadap yang ditentukan UUJN atau sebaliknya jika penghadap diperkenalkan oleh saksi pengenal maka saksi pengenal yang harus menjamin pemenuhan syarat-syarat yang harus dipenuhi penghadap tersebut.
Dalam hal Notaris diperiksa sebagai saksi maupun ahli, maka Notaris dapat berlindung pada ketentuan pasal 66 UUJN yaitu harus ada persetujuan terlebih dahulu kepada Majelis Kehormatan Notaris, akan tetapi ketika Notaris diperiksa sebagai tersangka/terdakwa maka persetujuan tersebut tidaklah diperlukan, mengingat sebagai tersangka/terdakwa Notaris senantiasa diperiksa atas dasar ketentuan pasal 55 KUHP tentang Penyertaan (deelneming) yaitu sebagai turut serta melakukan (mededader atau medepleger), maupun dengan ketentuan pasal 56 KUHP tentang Pembantuan (medeplichtigheids), sehingga sangat besar kemungkinan penyidik maupun penuntut umum telah memperoleh minimal 2 (dua) alat bukti yang sah dalam perkara tersebut.
Pasal-pasal pidana yang dapat muncul dalam pelaksanaan tugas/jabatan Notaris, antara lain :
1. Pasal-pasal tentang Pemalsuan, yaitu pasal 263 dan 264 KUHP.
2. Pasal-pasal tentang Penggelapan, yaitu pasal 372 dan 374 KUHP.
3. Pasal tentang Pencucian uang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
4. Pasal tentang Memberikan Keterangan Palsu di Bawah Sumpah, sebagaimana diatur dalam pasal 242 KUHP.
D. Kewajiban Melekatkan Sidik Jari Pada Minuta Akta
Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris diundangkan dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Undang-Undang Jabatan Notaris, yakni pada tanggal 15 Januari 2014 (Undang-Undang Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris). Dengan demikian maka ketentuan yang diatur di dalam UU tersebut telah berlaku dan mengikat bagi para Notaris.
Di dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c, “Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib: ...c. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta”. Ketentuan ini banyak mendapat perhatian karena ada beberapa hal yang belum jelas berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban tersebut di dalam praktek Notaris, walaupun penjelasan pasal tersebut telah menyatakan “cukup jelas”.
Sidik jari (finger print) adalah hasil reproduksi tapak jari baik yang sengaja diambil, dicapkan dengan tinta maupun bekas yang ditinggalkan pada benda karena pernah tersentuh kulit telapak tangan atau kaki. Kulit telapak adalah kulit pada bagian telapak tangan mulai dari pangkal pergelangan sampai kesemua ujung jari, dan kulit bagian dari telapak kaki mulai dari tumit sampai ke ujung jari yang mana pada daerah tersebut terdapat garis halus menonjol yang keluar satu sama lain yang dipisahkan oleh celah atau alur yang membentuk struktur tertentu.
Dari pengertian tersebut “sidik jari” dapat berarti tapak dari salah satu jari pada tangan atau kaki atau dapat juga berarti keseluruhan tapak dari jari-jari tangan maupun jari-jari kaki atau tapak dari kulit tangan kanan dan/atau kiri, atau tapak dari bagian telapak tangan mulai dari pangkal pergelangan sampai kesemua ujung jari dan atau tapak dari bagian kulit dati telapak kaki mulai dari tumit sa,pai ke ujung jari. Jadi bisa bersifat tunggal maupun jamak.
Timbul berbagai pemikiran mengenai latar belakang atau maksud ditetapkannya pasal 16 ayat 1 huruf c yang mewajibkan Notaris untuk melekatkan sidik jari penghadap pada minuta akta tersebut. Dari fakta yang ada, tidak sedikit pula penyangkalan yang dilakukan oleh penghadap terhadap keberadaan tandatangan yang bersangkutan pada minuta akta Notaris.
Ada pula yang berpendapat bahwa makud dan tujuan dicantumkannya kewajiban untuk melekatkan sidik jari pada minuta akta tersebut adalah agar dapat dilakukan pembuktian di kemudian hari apakah seorang penghadap tersebut benar hadir secara fisik dihadapan Notaris untuk menandatangani suatu akta atau tidak. Dalam hal ini jika penghadap yang bersangkutan menyangkal perihal kehadirannya di hadapan Notaris atau menyangkal tandatangannya yang ada pada minuta akta maka sidik jari tersebut akan dipakai untuk membantah sanggahan yang dilakukan oleh penghadap.
Undang-Undang Jabatan Notaris sendiri tidak menyebutkan secara tegas sidik jari yang mana yang wajib dilekatkan pada minuta akta. Karena UUJN tidak menyebutkan hal tersebut maka banyak pendapat yang bermunculan mengenai hal ini. Ada yang berpendapat yang dilekatkan adalah 10 (sepuluh) jari tangan, ada yang berpendapat 5 (lima) jari tangan kanan atau tangan kiri, ada yang berpendapat cukup cap ibu jari kanan/kiri saja.
Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka seyogyanya ditetapkan Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana dari undang-undang yang mengatur hal tersebut sehingga tercipta keseragaman di dalam praktek pengambilan sidik jari penghadap sehingga tidak akan menimbulkan penolakan-penolakan dari penghadap berkaitan dengan hal tersebut.dan juga pilihan penggunaan sidik jari yang mana menjadi mempunyai dasar hukum yang jelas.
Berbeda halnya dengan UUJN, pengaturan sidik jari yang diatur didalam pasal 1874 KUHPerdata adalah menyangkut kekuatan pembuktian surat yang dibuat dibawah tangan apabila pembuatanya tidak dapat menandatangani surat yang bersangkutan, maka dapat digantikan dengan membubuhkan cap jempolnya pada surat tersebut sebagai pengganti tandatangannya. Pasal 1874 KUH Perdata mengatur cap jempol sebagai pengganti tandatangan untuk surat-surat dibawah tangan, sehingga ketentuan tersebut tidak berlaku untuk penggantian tandatangan dalam suatu Akta Otentik.
Untuk Akta Otentik penggantian tandatangan cukup dilakukan dengan “Surrogat” tandatangan yang berisikan keterangan Notaris yang dikonstantir oleh Notaris dari keterangan penghadap yang bersangkutan perihal keinginannya untuk menandatangani akta akan tetap tidak dapat melakukannya karena alasan tertentu, serta keterangan tersebut dicantumkan pada akhir akta. Keterangan tersebut sebagai pengganti tandatangan karena keterangan tersebut berasal dari seorang Notaris yang dipercaya dan yang merupakan hakekat dari jabatan Notaris.
Jika melihat latar belakang atau maksud diadakannya ketentuan mengenai sidik jari di dalam UUJN seperti yang diuraikan, maka 4 (empat) hal yang harus dipastikan berkaitan dengan pelekatan sidik jari tersebut, yaitu:
1) Sidik jari tersebut benar beralas dari jari penghadap yang bersangkutan;
2) Sidik jari tersebut bersumber langsung dari jari tangan penghadap,dalam arti tidak melalui prantara media lainnya;
3) Sidik jari tersebut diambil berkaitan dengan pembuatan akta tertentu (diambil pada setiap pembuatan akta yang dibuat dalam bentuk minuta akta ), yang diambil pada lembaran tersendiri dengan memuat uraian yang jelas judul akta, tanggal akta, nomor akta, nama penghadap dan bial diras perlu dikuatkan dengan tandatangan dari penghadap;
4) Sidik jari tersebut diambil pada hari dan tanggal yang sama dihadapan Notaris dan saksi-saksi pada saat .
Sedemikian pentingnya sidik jari dalam pembuktian, sehingga ada ilmu tersendiri mengenai hal tersebut, yaitu ilmu bantu sidik jari (dactyloscopy). Mengingat bahwa jenis dan tipe sidik jari setiap orang pasti berbeda-beda maka dibutuhkan suatu keahlian khusus dalam membaca sidik jari seseorang. Oleh karena itu, pada prakteknya ada orang-orang tertentu yang diberikan kewenangan untuk melakukan pengidentifikasian terhadap sidik jari
Pembuktian dengan menggunakan metode Dactyloscopy memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh metode lain, salah satunya adalah bahwa sidik jari seseorang bersifat permanen, tidak berubah selama hidupnya, gambar garis papilernya tidak akan berubah kecuali besarnya saja, selain itu juga memiliki tingkat akurasi paling tinggi di antara metode lain, yang sulit untuk dibantah oleh para pihak. Tidak seperti metode yang menggunakan keterangan saksi yang bisa saja pelaku, saksi maupun korban dapat berbohong atau memberikan keterangan palsu.
Metode yang umum dipakai hingga saat ini untuk membuat klasifikasi dari sidik-sidik jari itu disebut dengan Henry System. Singkatnya sidik jari yang wajib dilekatkan pada suatu akta Notaris adalah dimaksudkan sebagai pembuktian bahwa benar orang yang bersangkutan yang bertanda tangan pada akta notaris tersebut.
E. Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pertanggungjawaban bagi Notaris dapat berupa pertanggung jawaban administrasi, perdata maupun pidana. Khusus mengenai pertanggungjawaban pidana bagi Notaris tidak diatur secara jelas di dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang tentang Jabatan Notaris, tetapi pertanggungjawaban pidana Notaris sangat bergantung “kesengajaan” (opzet) dalam perbuatan Notaris tersebut. Oleh karena Notaris bertanggung jawab terhadap setiap akta yang dibuatnya, maka Notaris berkewajiban bertindak amanah, jujur, seksama, mandiri dan menjaga kepentingan pihak-pihak yang terkait dalam perbuatan hukum tanpa memihak kepada siapapun dalam melaksanakan jabatannya.
2. Belum ada ketentuan yang mengatur lebih lanjut tentang sidik jari yang wajib dilekatkan dalam setiap minuta akta. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang tentang Jabatan Notaris, hanya sekedar mewajibkan pelekatan sidik jari tanpa penjelasan lebih lanjut. Untuk melaksanakan ketentuan yang belum diatur dalam suatu Undang-Undang, maka seyogyanya diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah. Akan tetapi maksud dari pelekatan sidik jari pada Akta Notaris adalah dimaksudkan sebagai pembuktian bahwa benar orang yang bertanda tangan adalah orang yang sama, mengingat sidik jari setiap orang pastilah berbeda-beda.

Tidak ada komentar: